Dalam mengukur risiko kredit, investor dapat menggunakan credit spreads rate sebagai alat ukur menyatakan tingkat imbal hasil (yield) tambahan yang diinginkan. Meninjau krisis global subprime mortgage di Amerika yang mengalami puncaknya di tahun 2008 dimana krisis keuangan risiko gagal bayar tersebut merambat cepat ke seluruh dunia, termasuk di antaranya negara-negara pasar berkembang seperti perekonomian Indonesia yang terlihat dari pergerakan pasar modal dan pasar uang. Peristiwa tersebut menjadi perhatian bagi investor lebih teliti dalam menilai tingkat risiko kredit terhadap instrumen yang dipilih dalam portofolio investasinya khusunya obligasi.
Penelitian ini membahas pengaruh variabel makroekonomi diantaranya tingkat suku bunga, nilai tukar Rupiah, dan return IHSG terhadap credit spreads rate obligasi korporasi di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan return IHSG dengan credit spreads rate tidak berpengaruh signifikan. Namun tingkat suku bunga dan nilai tukar Rupiah berpengaruh signifikan positif terhadap credit spreads rate obligasi jangka panjang dan pendek di Indonesia. Arah positif menandakan ketika terjadi kenaikan pada kedua variabel tersebut, maka credit spreads rate obligasi semakin melebar. Meningkatnya credit spreads rate obligasi menandakan risiko yang akan diterima oleh investor semakin besar, karena tingkat kemampuan emiten dalam memenuhi kewajibannya kepada investor menjadi semakin berat.