Melihat pengamen di perempatan lampu merah sudah menjadi pemandangan yang sering dilihat di berbagai sudut perkotaan. Di kota Bandung, muncul jenis pengamen berkelompok yang biasa tampil di beberapa perempatan lampu merah kota Bandung dengan beragam alat musik yang cukup lengkap. Hal tersebut merupakan cara mereka dalam meraup perhatian lebih dari masyarakat. Namun, stigma yang sudah melekat pada pengamen jalanan membuat pandangan sebagian masyarakat menyamaratakan seluruh pengamen, sehingga kelompok pengamen jalanan masih merasakan dampak dari stigma tersebut. Stigma yang ada terhadap profesi pengamen mengakibatkan timbulnya perbedaan perlakuan atau tindakan terhadap individu atau kelompok yang terkena stigma. Maka dari itu, Penulis melakukan perancangan penataan kamera film fiksi yang mengangkat fenomena pengamen ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan estetika. Data diperoleh dari studi pustaka, observasi, wawancara dan kuesioner. Variabel data dan analisis penelitian terdiri dari tiga aspek yaitu, objek penelitian, khalayak sasar, dan karya sejenis. Hasil penelitian didapatkan bahwa stigma terhadap kelompok pengamen jalanan penting untuk dikomunikasikan kepada khalayak sasar melalui penataan kamera dengan menggunakan pendekatan estetika yang memperhatikan unsur sinematografi. Film fiksi dengan genre drama menjadi media yang dipilih untuk mengkomunikasikan pesan kepada audiens. Dalam tahap perancangannya, Penata kamera akan terlibat dalam tahap pra produksi, produksi, hingga pasca produksi.