Di Indonesia, banyak biro dan konsultan arsitektur serta interior menggunakan rendering dan animasi untuk presentasi kepada klien. Hal ini meningkatkan kebutuhan akan SDM yang mampu membuat dan mempresentasikan desain arsitektur dan interior. Permasalahan SDM di Indonesia mencakup tingginya tenaga kerja terdidik yang tidak terserap di dunia kerja dan misalokasi sumber daya manusia. Terdapat kesenjangan antara kebutuhan pasar tenaga kerja dan dunia pendidikan, terutama dalam keterampilan dan pendidikan yang dibutuhkan industri.
Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif Deskriptif dengan pendekatan thick description. Pada tahap awal, fokusnya adalah menganalisis implementasi dan praktik di bidang arsitektur dan desain interior, melibatkan perusahaan seperti Djiwaruang, Vastunata Studio, Mula Ruang, dan E_Dunestudio. Selain itu, penelitian ini mengevaluasi praktik pendidikan di bidang desain interior, khususnya dalam mata kuliah Presentasi Digital di Program Studi Interior Design, Telkom University.
Data observasi menunjukkan bahwa perusahaan dan kampus menggunakan Sketchup untuk model 3D, tetapi berbeda dalam aplikasi rendering dan animasi. Perusahaan memilih Lumion atau Vray untuk hasil realistis, sementara kampus menggunakan Enscape yang lebih mudah diakses. Mahasiswa Telkom University menguasai Enscape namun menghadapi kendala dalam rendering dan animasi. Perusahaan menekankan detail material, warna, tekstur, dan pencahayaan yang realistis. Kampus fokus pada model 3D yang baik, material, pencahayaan, dan estetika presentasi. Untuk menjembatani kesenjangan dengan industri, kurikulum harus memperkenalkan Lumion dan Vray serta mengevaluasi hasil mahasiswa berdasarkan standar industri.
Kata Kunci : rendering, animasi, arsitektur, interior