Algoritma K-Means biasanya digunakan untuk pengelompokan data karena kesederhanaannya dan implementasinya yang efektif. Akan tetapi, algoritma ini memiliki beberapa kelemahan. Salah satu masalah utama dengan K-Means adalah proses acak yang terlibat dalam memilih centroid awal, yang dapat menyebabkan hasil yang bervariasi. Pengelompokan data pada dasarnya adalah masalah optimasi global, sehingga fungsi objektif menjadi sangat penting. Algoritma K-Means tradisional menggunakan fungsi jarak Euclidean sebagai fungsi objektifnya. Namun, metrik ini terkadang dapat menghasilkan cluster yang tidak dapat dipisahkan. Untuk mengurangi efek ini, istilah Least Square diperkenalkan. Fungsi objektif, yang bergantung pada titik pusat, perlu diminimalkan dengan menggunakan metode yang tepat. Penelitian ini mengeksplorasi dampak penggunaan pendekatan metaheuristik (seperti Differential Evolution), kombinasi Differential Evolution dan K-Means, dan fungsi objektif Least Square diformulasikan untuk menentukan centroid yang optimal. Data kinerja komputasi, seperti Silhouette Score dan running time, dikumpulkan selama fase komputasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi Differential Evolution (DE) dan K-Means lebih efisien berdasarkan indikator-indikator yang digunakan. Selain itu, eksperimen ini juga membandingkan performa antara K-Means+DE dan K-Means+GA (Genetic Algorithm) untuk mengevaluasi keunggulan DE dibandingkan algoritma metaheuristik berbasis populasi lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa K-Means+DE unggul dalam banyak percobaan.Untuk menguji kualitas model ini, dilakukan implementasi pada data asli, yaitu data Survei Potensi Desa tahun 2021 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Hasil implementasi menunjukkan nilai silhouette yang tinggi, yaitu sekitar 0,81884 pada jumlah klaster sebanyak 2.
Kata Kunci: Differential Evolution; Initial Centroid; K-Means; Optimasi; Performa Komputasi.