Pengembangan perangkat lunak sering menghadapi tantangan dalam memastikan spesifikasi kebutuhan yang jelas dan pengujian yang efektif. Ketidakjelasan kebutuhan dapat menyebabkan produk akhir tidak sesuai dengan harapan pengguna, dengan studi menunjukkan bahwa 60% bug pada platform low-code berasal dari kesalahan spesifikasi. Penelitian ini membandingkan dua pendekatan dalam pengembangan aplikasi low-code menggunakan OutSystems, yaitu Behavior-Driven Development (BDD) dan pendekatan tradisional non-BDD. Pendekatan BDD memanfaatkan format Gherkin dan BDDFramework, sedangkan non-BDD mengandalkan use case scenario dan Katalon Studio. Eksperimen dilakukan pada aplikasi pencatatan pengeluaran dengan mengukur efisiensi melalui elapsed time (waktu per 1% requirement) dan efektivitas berdasarkan kelengkapan fitur serta usability. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode BDD lebih efisien, membutuhkan rata-rata 5,36 menit per 1% requirement, dibandingkan dengan 6,57 menit pada non-BDD, dengan total waktu pengembangan 535,5 menit vs. 585 menit. Dari segi efektivitas, aplikasi BDD mencapai 100% kelengkapan fitur dan skor usability, sedangkan non-BDD hanya mencapai 88,9% dan 72,2%. Selain itu, spesifikasi adaptif dalam BDD dapat meningkatkan kejelasan kebutuhan dan memfasilitasi validasi kriteria penerimaan lebih awal. Hasil ini mendukung penerapan BDD sebagai solusi optimal dalam proyek low-code yang menekankan ketepatan kebutuhan dan efisiensi proses.
Kata Kunci: Behavior-Driven Development, low-code, OutSystems