Fenomena commuting stress atau stres akibat perjalanan harian merupakan tantangan signifikan yang dihadapi oleh banyak karyawan di Wilayah Bandung Raya. Tekanan yang timbul dari perjalanan dengan durasi panjang dan kemacetan lalu lintas berpotensi meningkatkan risiko kelelahan kerja (burnout). Kondisi burnout ini kemudian diduga kuat menjadi pemicu utama munculnya niat untuk meninggalkan pekerjaan (turnover intention). Mengingat tingginya mobilitas pekerja di kawasan ini, penelitian yang secara spesifik menguji mekanisme psikologis yang menghubungkan pengalaman perjalanan dengan niat untuk keluar menjadi sangat relevan untuk dilakukan.
Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama. Pertama, untuk menganalisis pengaruh commuting stress terhadap burnout pada karyawan di Wilayah Bandung Raya. Kedua, untuk menganalisis pengaruh burnout terhadap turnover intention pada populasi yang sama. Ketiga, dan yang paling utama, adalah untuk menguji dan menganalisis peran mediasi dari burnout dalam hubungan antara commuting stress dan turnover intention, guna memahami jalur pengaruh yang terjadi.
Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan pendekatan deskriptif dan kausal. Sampel penelitian terdiri dari 160 karyawan yang bekerja dan melakukan commuting di Wilayah Bandung Raya, yang dipilih menggunakan teknik non-probability sampling dengan jenis purposive sampling berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Pengumpulan data primer dilakukan melalui penyebaran kuesioner secara daring. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik Partial Least Square-Structural Equation Modeling (PLS-SEM) dengan bantuan perangkat lunak SmartPLS 4.0 untuk menguji model penelitian.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa commuting stress berpengaruh positif dan signifikan terhadap burnout, dan burnout juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap turnover intention. Temuan utama penelitian ini adalah bahwa burnout terbukti secara signifikan dan kuat memediasi hubungan antara commuting stress dan turnover intention. Menariknya, pengaruh langsung dari commuting stress terhadap turnover intention ditemukan tidak signifikan, yang mengindikasikan bahwa burnout berperan sebagai mediator penuh (full mediation).
Kontribusi utama dari penelitian ini adalah memberikan bukti empiris yang kuat bahwa bagi karyawan komuter di Bandung Raya, dampak negatif commuting stress terhadap niat untuk pindah kerja hampir seluruhnya disalurkan melalui kondisi burnout. Berdasarkan temuan ini, disarankan bagi perusahaan di wilayah tersebut untuk tidak hanya fokus pada kompensasi perjalanan, tetapi juga secara proaktif menerapkan kebijakan untuk mencegah dan menangani burnoutkaryawan, seperti penerapan jam kerja yang fleksibel dan penyediaan program dukungan kesehatan mental, sebagai strategi efektif untuk menekan turnover intention.