Generasi Z memiliki peran strategis dalam dunia kerja modern di Indonesia karena merupakan kelompok usia produktif yang mendominasi tenaga kerja saat ini. Namun, tingginya tingkat mobilitas dan kecenderungan untuk berpindah kerja di kalangan Generasi Z menimbulkan tantangan tersendiri bagi organisasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun Generasi Z memiliki potensi besar dalam mendukung produktivitas perusahaan, mereka juga berisiko tinggi terhadap turnover intention. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stres kerja dan work life balance menjadi dua faktor utama yang memengaruhi keputusan karyawan muda untuk bertahan atau meninggalkan pekerjaan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh stres kerja dan work- life balance terhadap turnover intention pada karyawan Generasi Z di Indonesia. Fokus penelitian diarahkan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi kedua variabel independen tersebut dalam menjelaskan kecenderungan berpindah kerja. Variabel-variabel tersebut dianalisis melalui pendekatan kuantitatif kausal dan deskriptif, dengan meneliti hubungan sebab-akibat antar variabel.
Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik survei melalui penyebaran kuesioner secara daring kepada responden Generasi Z yang telah bekerja di Indonesia. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 240 responden, yang ditentukan berdasarkan rumus Hair et al. dengan teknik purposive sampling. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk mendeskripsikan kondisi masing-masing variabel, serta Structural Equation Modeling–Partial Least Square (SEM-PLS) sebagai teknik analisis inferensial, dengan bantuan software SmartPLS versi 4.0.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap turnover intention, dengan nilai path coefficient sebesar 0,197, nilai p-value = 0,004, dan t-statistik = 2,648. Artinya, semakin tinggi tingkat stres kerja yang dialami, semakin besar pula kecenderungan responden untuk meninggalkan pekerjaan. Selanjutnya, work-life balance memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap turnover intention dengan nilai koefisien sebesar -0,613, p- value = 0,000, dan t-statistik = 7,070. Hal ini menunjukkan bahwa semakin buruk work life balance yang dialami responden, maka semakin tinggi pula turnover intention. Nilai R² sebesar 0,613 menunjukkan bahwa stres kerja dan work life balance secara bersama-sama mampu menjelaskan 61,3% variabel turnover intention.
Temuan ini memberikan implikasi penting bagi organisasi dan manajemen sumber daya manusia, terutama dalam merancang strategi pengelolaan stres kerja dan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan hidup. Dengan memahami faktor-faktor yang memengaruhi turnover intention, organisasi dapat mengurangi tingkat pergantian karyawan muda, meningkatkan retensi, serta menciptakan lingkungan kerja yang lebih stabil dan produktif di era dominasi tenaga kerja Generasi Z.