Kedai kopi di Indonesia terus mengalami transformasi—dari tempat berkumpul tradisional menjadi kafe estetis yang mengadopsi teknologi dalam operasionalnya, termasuk sistem pemesanan. Seiring menjamurnya kedai kopi, perkembangan teknologi turut membuka banyak pilihan dalam sistem pemesanan, dari awalnya single channel, berkembang menjadi multi-channel melalui telepon dan chat, hingga hadirnya food aggregator. Pandemi COVID-19 mempercepat adopsi teknologi ini, seperti penerapan Bring Your Own Device (BYOD) dan aplikasi pemesanan buatan sendiri. Banyaknya saluran ini mendorong pelaku bisnis untuk mulai menerapkan strategi omnichannel ordering, demi menghadirkan pengalaman yang terintegrasi bagi pelanggan serta efisiensi internal.
Penelitian ini mengeksplorasi kepuasan pelanggan dalam konteks pemesanan omnichannel di tech-led retail coffee shops di wilayah Bandung Raya, Indonesia yaitu Flash Coffee, Kopi Kenangan, dan Tomoro Coffee. Dengan pendekatan mixed-methods, studi ini menjembatani metode kualitatif dan kuantitatif melalui kerangka sistematis yang memadukan wawancara semi-terstruktur, survei, observasi lapangan, serta ulasan pelanggan. Penelitian menilai efektivitas dan konsistensi pengalaman pemesanan melalui aplikasi, sistem POS, dan food aggregator. Kerangka analisis mengacu pada perluasan kontekstual dari Technology Acceptance Model (TAM) dan Grounded Theory (GT), yang mengaitkan saluran pemesanan dengan faktor pendorong kepuasan.
Salah satu aspek utama dalam studi ini adalah proses pengkodean data—mulai dari open coding, axial coding, hingga selective coding—untuk mengelola data kompleks secara terstruktur. Dengan demikian, studi ini menguji relevansi model TAM atau GT di konteks retail kopi Indonesia. Temuan TAM dan GT menunjukkan elemen lokal seperti kebiasaan penggunaan saluran tertentu, loyalitas berbasis aplikasi, serta pengaruh faktor budaya dan infrastruktur. Temuan ini memperluas relevansi model dalam pasar digital yang sedang berkembang.
Hasil interpretasi bertingkat menghasilkan triangulasi yang menyeluruh. Kepuasan pelanggan ternyata sangat tergantung pada salurannya: aplikasi dihargai karena kecepatan, kemudahan, dan poin loyalti; pembelian langsung untuk kenyamanan dan pelayanan konsisten; sedangkan food aggregators unggul dalam fleksibilitas, namun kurang menciptakan keterikatan emosional. Hal ini menandakan bahwa adopsi jangka panjang membutuhkan kesesuaian antara fungsionalitas operasional dan resonansi emosional.
Pada akhirnya, aplikasi dan outlet fisik menghasilkan kepuasan dan loyalitas yang tinggi, sementara food aggregator—meskipun praktis—tidak cukup membangun kepercayaan atau kedekatan emosional. Temuan ini memperkuat konsep utama TAM, yaitu perceived of usefulness dan perceive ease of use, serta menambahkan faktor lokal seperti kebiasaan, kenyamanan emosional, dan keakraban outlet. Keberhasilan strategi omnichannel bergantung pada penyelarasan nilai emosional dan operasional tiap saluran. Penelitian lanjutan disarankan untuk memodelkan perilaku konsumen secara longitudinal dan membandingkan strategi omnichannel lintas sektor dan wilayah.
Kata Kunci— Kedai Kopi, Omnichannel Ordering, TAM, GT